Category Archives: travelling

Awalnya Banda Neira Bercerita 

“Eksplorasi dan Optimalisasi Sumber Daya Alam Berkelanjutan Melalui Konservasi dan Pendidikan”

Banda Neira Bercerita #KKNUNSJan-Feb2017

Kami ingin mengabdi untuk Indonesia,

Kami ingin mengembangkan senyum di Kepuluan Banda,

Kami ingin berkata bahwa “Banda Neira Bercerita”

Karena saya sendiri percaya, pengabdian adalah sebuah panggilan jiwa bukan keterpaksaan. Itulah yang menyatukan saya dan teman-teman Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dari berbagai jurusan yang berbeda untuk terjun langsung dan mengabdi pada masyarakat Indonsia. Sejauh apapun pergi, sepanjang apapun gelar yang akan menyertai nama di belakang, dan apapun status saat ini; pada akhirnya saya dan teman-temanlah yang akan bersinergi memajukan negeri ini. 40 hari lamanya kami akan berada di Banda Neira sebagai salah satu wujudnya tridarma perguruan tinggi.

Kenapa Banda Neira? Karena saya sendiri telah jatuh cinta dengan sederhana; tentang cerita-cerita sejarahnya, kekayaan bahari yang melimpah, tawa anak-anak sekolah, atau deru ombak selepas senja. Banda Neira merupakan pulau dalam gugusan Kepulauan Banda yang termasuk dalam wilayah Maluku Tengah. Lebih dari yang bisa ditemui di laman internet, Banda Neira punya potensi sebagai destinasi wisata yang sangat mumpuni baik dari keindahan alamnya, pesona taman laut, peninggalan bangunan sejarah, maupun kebudayaannya.

Banda Neira, bagian dari Indonesia yang memukau untuk digali lebih karena mengingat disini gerbang pertama kali kolonial memasuki wilayah nusantara demi mencari rempah-rempah. Pulau dalam satu gugusan dimana dulu Bung Hatta dan Bung Sjahrir diasingkan. Di tanahnya terhampar barisan pohon pala yang menjadi detak jantung perekonomian masyarakatnya. Tidak hanya itu, Banda Neira juga merupakan potongan surga dunia dengan berbagai keragaman hayati dan pariwisata bahari. Layaknya pulau-pulau di timur Indonesia, Banda Neira bak permata yang belum diasah. Terlalu banyak tanah yang belum dijelajahi, GunungApi yang menjulang tinggi, maupun laut yang teramat luas untuk diarungi.Bisa dikatakan Banda Neira merupakan mutiara yang belum terpoles dengan cukup baik. Potensi yang dimiliki oleh Kepulauan Banda sangat besar, namun sayang pembangunan pemerintah di daerah ini belum optimal. Seyogyanya potensi wisata tersebut harus difasilitasi dengan kesadaran dan kemampuan sehingga mampu membuka mata dunia akan keindahan alam di Banda.

7/20 dari Tim KKN UNS Banda Neira
7/20 dari tim KKN UNS Banda Neira

Saya dan teman-teman dari tim KKN Banda Neira UNS periode ke 3, mengabdi di Negeri Administrasi Boiyouw dan Waling Spanciby merancang program kerja (proker) utama berupa konservasi lingkungan sebagai salah satu upaya pencegahan krisis air dan memaksimalkan pengelolaan sampah. Kegiatan yang dilakukan antara lain Sosialisasi sampah dan intrusi air laut dalam ekuifer, pembuatan biopori dan Briket Arang dari daun kering.  Tidak hanya di sektor lingkungan, kami juga akan turun tangan di bidang pariwisata, pertanian, dan pendidikan dengan harapan terciptanya kesejahteraan masyarakat Banda yang lebih baik.

Screenshot_2017-03-18-15-56-34_com.instagram.android_1489827471870[1]
Foto Bersama dengan Dosen Pembimbing dan Bapak Camat Banda
Di bidang pariwisata ada kegiatan Banda Goes World Wide” atau pembuatan situs internet bilingual, “Banda Neira’s Map” yaitu pembuatan peta yang berisi  informasi pesona wisata Banda Neira,  dan “Festival panen pala”.  Banda Neira to-do-list” yaitu pembuatan konten-konten informasi dan dokumentasi seputar Banda Neira.

Di bidang pertanian ada kegiatan “Aku cinta pertanian” yaitu pengenalan dan pelatihan bertanam secara vertikultur, Go organic yaitu pelatihan pembuatan pupuk organik serta pengenalan dan pelatihan bertanam sayur secara hidroponik.

Sedangkan di bidang pendidikan, ada kegiatan “Greeneration”, yaitu Pendidikan konservasi bagi anak sekolah, “Posko belajar sore”, “College Calling” atau Sosialisasi progam studi di Perguruan Tinggi dan beasiswa, “Mimpi Anak Pulau”, dan kegiatan penyuluhan “Yuk hidup sehat”.

Kami berharap apa yang telah dilakukan di kedua desa tersebut dapat membantu Kepulauan Banda sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan destinasi pariwisata nasional. Dengan adanya kepedulian dari masyarakat terhadap lingkungan khususnya pengelolaan sampah dan pengenalan pariwisata Banda merupakan satu langkah positif untuk membantu penyelesaian permasalahan Banda.Karena Banda Neira mempunyai sejuta cerita yang harus didengar oleh masyarakat Indonesia maupun turis mancanegara.

Gunung Slamet (3428 Mdpl) Via Bambangan

“There can be no happiness if the things we believe in are different from the things we do” – Freya Stark

Gunung yang merupakan tertinggi di Provinsi Jawa Tengah atau gunung tertinggi ke-2 di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru, yaitu Gunung Slamet. Gunung Slamet adalah salah satu gunung berapi aktif di Indonesia. Gunung ini terletak di 5 kabupaten yakni Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Tegal dan Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Oleh karenanya banyak jalur yang dapat dilalui untuk mendaki gunung ini, antara lain via Bambangan-Purbalingga, Baturraden-Purwokerto, Guci-Tegal, Kaliwadas-Brebes, Kaligua-Bumiayu, dan Dukuhliwung-Tegal. Pada kesempatan ini, tim mendaki Gunung Slamet melalui jalur Bambangan. Jalur via Bambangan merupakan jalur utama yang banyak dipilih dan direkomendasikan dikarenakan rutenya terpendek dibandingkan jalur lainnya. Jalur Bambangan terletak di Dukuh Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga.

Pada ekspedisi 404040, Gunung Slamet ini didaki oleh Tim 5 yang beranggotakan 4 orang, antara lain Antonius Indra Setiawan (GWB 26275 SJS), Fitri Nurul Firdaus (GWB 26281 SJS), Adhitya Bayu Prakasa (GWB 27292 NSA-AM) dan Dwi Purnomo Adi (GWB 27300 NSA-AM). Perjalanan ini dimulai tanggal 4 Maret 2016 diawali packing perbekalan dan peralatan pukul 14.00 WIB. Pada pukul 19.30 diadakan upacara pemberangkatan di sekretariat Garba Wira Bhuana. Upacara pemberangkatan tim bersamaan dengan tim yang akan berangkat ke Gunung Prau dan Gunung Arjuna-Welirang (Tim AW). Pukul 20.00 WIB, semua tim siap berangkat. Tim kami mengendarai 2 motor, ditemani Dimas Fika Pramudita (GWB 27209 NSA-AM) sampai basecamp Gunung Slamet dan bersamaan berangkatnya dengan Tim Gunung Prau. Kami pun menuju motor yang menemani kami sepanjang perjalanan dari Solo menuju Purbalingga.

Perjalanan malam pun kami tempuh melewati gemerlap lampu-lampu jalanan dengan angin malam yang berhembus menerpa diri kami. Di tengah perjalanan kami sempat beristirahat sejenak sambil mengisi ulang bahan bakar kendaraan kami. Kami melanjutkan perjalanan dan sampai di Kota Wonosobo sekitar pukul 23.50 WIB dan dari sinilah tim Prau dan tim Slamet berpisah. Kami sempat mampir di angkringan untuk makan malam. Minuman anget, nasi kucing beserta gorengan pun jadi teman kami malam itu. Hari pun telah berganti, pukul 12.30 WIB kami melanjutkan perjalanan meski mata kami mulai tak bisa berkompromi. Sampai di Banjarnegara pukul 02.40 WIB, kami putuskan istirahat sebentar di depan emperan warung makan karena tubuh mulai kaku diatas motor. Kami pun memasak nasi untuk sarapan pagi nanti dan membuat kopi anget. Tak lama kemudian, gerimis datang dan rasa mengantuk mulai melanda kami hingga akhirnya terlelap tidur. Pagi tlah datang, gerimis masih enggan pergi, jam menunjukkan angka 05.30 WIB kami bangun dan solat subuh. Kemudian kami mulai packing dan pukul 06.15 kami melanjutkan perjalanan yang mana suasana mulai ramai akan kendaraan bis dan motor.

Pada Pukul 07.35 WIB kami belanja sayuran untuk perbekalan mendaki nanti dan lauk matang untuk sarapan pagi ini. Setengah jam kemudian kami sampai di basecamp dan kami langsung sarapan. Kemudian kami registrasi, packing dan kami berangkat pukul 10.30 WIB. Dari informasi pendaftaran di basecamp, banyak pendaki yang akan memuncak pada hari itu juga. Dari Basecamp berjalan ke atas menuju gapura “Pendakian Bambangan” akan melewati pondok pemuda (1502 mdpl). Disitu kami registrasi ulang dan meninggalkan kartu identitas untuk pendakian ini.

SAMSUNG CAMERA PICTURES
Awan menutupi Gunung Slamet pagi itu

Gerbang Pendakian Gunung Slamet Via Bambangan

SAMSUNG CAMERA PICTURES
Basecamp Gunung Slamet, Bambangan, Kutabawa, Purbalingga
SAMSUNG CAMERA PICTURES
Gerbang Pendakian Gunung Slamet Via Bambangan

Gapura “Pendakian Bambangan” ini merupakan awal perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan menuju pos 1 (Pondok Gembirung 1937 mdpl) melewati bentangan ladang pertanian seperti wortel, kubis, dan bawang merah. Hujan gerimis kembali menerpa kami, jalan setapak menanjak sudah menghadang. Sebelum sampai di pos 1, kami melewati pos bayangan atau batas perhutani (1606 mdpl) yang mana ada beberapa rombongan yang berteduh disitu. Kami tiba di pos 1 pukul 12.20 WIB dimana disana terdapat shelter dan kami pun beristrirahat sejenak. Perjalanan ke Pos 2 (Pondok Walang 2256 mdpl) treknya agak menanjak dan lebih berat dari sebelumnya. Vegetasi pepohonan mulai rapat dan perjalanan ke pos 2 memerlukan waktu sekitar 1.5 jam. Selanjutnya perjalanan ke Pos 3 (Pondok Cemara 2510 mdpl) dengan jalan setapak yang mulai menyempit dan kadang kerap bersenggolan dengan semak-semak basah. Menuju pos 3 memerlukan waktu 1.5 jam dan tiba pukul 15.28 WIB. Perjalanan ke Pos 4 (Pondok Samaranthu 2688 mdpl), trek masih dalam suasana hutan dan terkadang melewati jalan yang menyempit dalam cerukan. Carrier pun kerap bersinggungan dengan cerukan dan sesekali tersangkut dengan akar pohon yang mencuat. Mitosnya di pos 4 ini dikatakan sebagai pos angker, karena dari namanya “Samaranthu” yang artinya hantu tak terlihat.

Hari makin sore, hujan pun sudah reda, pukul 17.35 kami sampai di Pos 5 (Samyang Rangkah 2795 mdpl). Di pos ini terdapat shelter dan di bawah pos terdapat aliran sungai yang bisa dijadikan sumber air, maka kami memutuskan untuk mendirikan camp disini. Menuruni jalur sempit yang cukup curam untuk mengambil air sungai. Kemudian kami melakukan persiapan memasak untuk makan malam. Menu makan malam ini yaitu sayur kangkung dengan saori asam manis membuat cukup “nananina” pada diri kami. Setelah selesai masak dan makan, kami langsung beristirahat tidur untuk persiapan pergerakan summit besok pagi.

SAMSUNG CAMERA PICTURESSAMSUNG CAMERA PICTURES

Keesokan harinya, cuaca cukup cerah dan kami pun melanjutkan perjalanan ini pukul 07.00 WIB. Perjalanan menuju Pos 6 (Samyang Katehonan 2909 mdpl) memerlukan waktu sekitar 25 menit. Selanjutnya vegetasi mulai kembali terbuka menuju Pos 7 (Samyang Kendil 3040 mdpl) yang memerlukan waktu sekitar 20 menit dan di pos 7 terdapat shelter juga. Perjalanan menuju Pos 8 (Samyang Jampang 3092 mdpl) dengan jalur yang terbentuk di tengah cerukan sempit kembali lapang. Tidak terlalu jauh dari pos 7, pos 8 dapat ditempuh dengan waktu sekitar 10 menit. Kami pun sempat berfoto ria di pos 8. Perjalanan selanjutnya menuju pos 9 (Pelawangan 3172 mdpl) yang merupakan batas vegetasi gunung ini ditandai dengan seonggok pohon cantigi dan papan besar. Kami memerlukan waktu sekitar 40 menit untuk sampai di pos ini. Kami istirahat sejenak dan menikmati bekal yang kami bawa.

SAMSUNG CAMERA PICTURES

SAMSUNG CAMERA PICTURES

SAMSUNG CAMERA PICTURES

Pada pukul 09.00 WIB kami summit dan trek selanjutnya menuju Puncak Slamet/Bibir kawah melewati jalur yang lebih berat menjadi lumuran pasir dan bebatuan. Perjalanan mulai terpencar di sebalah kanan mapun kiri jalur, menyisakan jarak yang cukup berjauhan, tergantung pada kemampuan fisik dan mental masing-masing. Dengan semangat pantang mengeluh menjadi senjata ampuh untuk menapaki jejak kami di puncak gunung ini. Di tengah perjalanan sesekali kabut menghampiri perjalanan ini. Sekitar 1,5 jam akhirnya perjalanan kami membuahkan hasil, hamparan tanah berbatu datar yang memanjang ada di depan mata kami. Memandang ke segala arah, semuanya lepas begitu saja seperti tanpa pembatas.

SAMSUNG CAMERA PICTURES

Berjalan ke depan, kami melihat plakat hitam dengan tinta putih bertuliskan “CONGRATULATIONS YOU ARE NOW AT MT SLAMET 3428 MASL”.

SAMSUNG CAMERA PICTURESSAMSUNG CAMERA PICTURES

Di titik ini terasa perjuangan kami akhirnya ada titik temunya,  kebahagiaan, keharuan, kebanggan dan rasa syukur pun terluapkan. Cuaca saat itu berkabut dan pemandangan gunung di seberang tak kelihatan. Kemudian kami mempersiapkan visi kami ke gunung ini untuk mengibarkan bendera merah putih dan Lambang Garba Wira Bhuana sebagai simbolis perjuangan kami kesini.

Pada pukul 11.45 WIB, gerimis pun datang yang memperingatkan kami untuk segera turun. Sebelum kabut membentang, sebelum badai menghadang, kami bergegas pulang. Melewati turunan pasir dan bebatuan perlu ekstra hati-hati untuk menuju pos 9. Tak usah lama-lama beristirahat kami bergegas menuju pos 5 tempat camp kami. Mendekati pos 7, hujan mengguyur perjalanan kami, jalan pun menjadi licin. Pukul 14.15 kami sampai di pos  5, kami pun langsung membongkar tenda dan memasak untuk makan siang dengan menu nasi sayur sop, kangkung dan tempe goreng. Pukul 16.30 kami telah usai masak dan makan, kemudian siap untuk turun ke basecamp. Dengan ekstra hati-hati karena hari makin malam kami menuruni gunung ini dan sampai di basecamp pukul 19.30. Kami beristirahat sejenak dan persiapan kembali ke solo pada pukul 23.00 WIB. Di tengah perjalanan pulang, tubuh kami terasa lelah dan kami putuskan beristirahat di pom bensin Purbalingga sampai pukul 03.00 dini hari. Kami melanjutkan perjalanan pulang ke Solo dan sempat sarapan di Wonosobo hingga kami sampai di Solo dengan selamat pukul 11.00 WIB.

Nama Gunung Slamet mengandung doa untuk semua. Jika sebuah nama adalah doa maka tepat jika gunung ini dijadikan contoh bahwa “Slamet” merupakan bahasa jawa yang bermakna selamat. Masyarakat yakin akan gunung ini bergejolak sekalipun dalam ruang kawah dan kepulan asapnya, terselipkan doa agar kehidupan di dalamnya maupun sekitar kaki gunungnya tetap terjaga keselamatannya. Selain dari kondisi alam sendiri, manusia yang mendaki gunung ini pun harus ikut menjaga dan merawatnya agar keselamatan dan kebahagiaan dapat dirasakan. Seperti yang dikatakan oleh Pak Freya Stark bahwa “Tidak ada kebahagian, jika apa yang kita percaya berbeda dengan apa yang kita lakukan”.

 

(Fitri Nurul Firdaus / GWB 26281 SJS)

1653 Mdpl, Gunung Penanggungan Via Jolotundo

“Each fresh peak ascended teaches something” – Sir Martin Convay

Gunung Penanggungan merupakan gunung yang terletak di kabupaten Mojokerto dan kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Gunung ini merupakan gunung berapi yang sedang tidur atau dalam keadaan tidak aktif. Penanggungan dikenal juga sebagai Pawitra yang berarti kabut karena tubuhnya selalu diselimuti kabut.

Ada yang bilang kalau bentuk Gunung Penanggungan ini miniatur Semeru, karena hamparan puncaknya sama-sama terdapat pasir dan bebatuan yang luas mirip Semeru. Ada beberapa jalur pendakian yang bisa dilalui, seperti via Tretes, Tamiajeng, Jolotundo, dan Ngoro. Pada kesempatan ini, saya dan 2 teman lainnya (Okgy dan Padma) mendaki Gunung Penanggungan via Jolotundo di lereng bagian barat.

Pendakian Gunung Penanggungan via Jolotundo terletak di Trawas, Mojokerto, terpaut sekitar 30 menit dari pos pendakian Tamiajeng. Jalur Pendakian via Jolotundo merupakan jalur yang lebih panjang daripada via Tamiajeng dan memiliki keunikan tersendiri. Disini bisa berpetualang sambil belajar sejarah mengenai peninggalan purbakala baik candi, pertapaan, maupun petirtaan dari periode Hindu-Buddha di Jawa Timur.

Menurut berbagai sumber, ciri fisik candi di Penanggungan ini berbeda dengan candi-candi pada umumnya karena candi dibangun dengan kontruksi menempel di dinding/lereng gunung, dibuat berteras tiga atau lebih dengan dengan tangga naik di tengah. Berdasarkan penafsiran masyarakat, candi-candi yang terdapat di Gunung Penanggungan ini bertujuan untuk Milenarisme. Milenarisme yakni keinginan sebagian masyarakat Majapahit untuk mengembalikan kejayaan (Majapahit yang akan runtuh) dengan jalan membangun bangunan suci di gunung untuk memuja arwah leluhur yang dipercaya bersemayam di puncak-puncak gunung.

Tepat hari Sabtu, 20 Februari 2016 kami memulai perjalanan kami menuju pos perijinan Gunung Penanggungan yang ditemani hujan gerimis. Kami tiba di pos perijinan yang berada di atas PPLH Seloliman sekitar pukul 12.00 WIB. Di sekitar pos perijinan terdapat sebuah situs candi berupa petirtaan/pemandian Jolotundo yang dijadikan sebagai tempat pemujaan sekaligus tempat wisata. Biaya tiket masuk dikenakan Rp 10.000,00 /orang. Untuk pendakian seperti pada umumnya, perlu meninggalkan kartu identitas. Di jalur pendakian ini, tidak ada sumber air oleh karenanya kami perlu mengambil air di petirtaan Jolotundo.

Trek awal pendakian dimulai dengan melewati tangga di sebelah selatan mushola sebelum gapura masuk petirtaan Jolotundo. Setelah itu, kami mengikuti jalan setapak dan memasuki hutan alam yang mana di sepanjang jalur dapat ditemui tanaman rimba berupa semak, rumput ilalang, pohon randu, pohon alpukat dan sebagainya. Setelah keluar melewati hutan sekitar 1 jam, di depan kami disuguhkan pemandangan alam terbuka Gunung Penanggungan. Kami beristirahat sebentar di sebuah gubuk petani sambil menikmati bekal yang dibawa. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan berbelok ke kanan yang masih melewati ladang dan banyak menemui pohon pisang di sepanjang jalan.

Setelah beberapa jam berjalan, kami menemukan bangunan candi dengan tatanannya yang rapi bernama Candi Lurah. Di bawah candi terdapat altar sesaji yang ditumbuhi rerumputan. Kami memutuskan beristirahat sejenak sambil berfoto ria. Setelah merasakan tubuh bugar kembali, kami melanjutkan perjalanan dan melewati Candi Carik. Kondisi candi ini tidak sebaik dengan Candi Lurah dikarenakan banyak tanaman liar yang tumbuh disekitarnya. Masih disekitar situ, agak naik sedikit kami melewati Candi Yudha. Jarak antara Candi Lurah, Candi Carik, dan Candi Yudha kira-kira antara 100-200 meter.

_MG_9355
Candi Lurah, Gunung Penanggungan
_MG_9339
Papan peringatan di Candi Lurah Gunung Penanggungan
_MG_9309
Candi Carik di Jalur Jolotundo Gunung Penanggungan

 

_MG_9345
Candi Guru Gunung Penanggungan

Beberapa menit kemudian, di bawah jalur pendakian terlihat juga bangunan candi yang bernama Candi Guru. Di samping candi terdapat beberapa tanaman mawar yang telah berbunga dengan warna pink segar. Namun kondisi di bawah candi sungguh kurang terawat, karena banyak lumut dan tanaman liar. Tatanan candi ini pun kalah rapinya dengan candi-candi sebelumnya. Kami pun melanjutkan perjalanan dan melewati Candi Whisnu. Kami memutuskan beristirahat sejenak.

Setelah disuguhi bangunan candi, kami melewati banyak pohon mati tumbuh di sekitarnya. Kami menjumpai sebuah gua sebelum melewati batas vegetasi. Setelah naik sekitar 10 meteran, di tengah perjalanan pukul 17.00 WIB kabut datang dan tiba-tiba hujan gerimis mengguyur kami. Karena rencana awal tak ingin nge-camp di gunung dan minimnya peralatan yang dibawa, kami memutuskan turun ke gua dan menunggu hujan reda. Setelah setengah jam menunggu hujan yang tak reda-reda, kami memilih untuk tinggal di gua tersebut. Dengan perbekalan seadanya, kami menikmati makanan dan minuman se-efektif mungkin. Kami juga menampung air hujan dengan trash bag yang kami bawa untuk kami jadikan minuman hangat teman kami di malam itu. Setelah perut terisi dan solat isya selesai, kami memutuskan segera beristirahat agar ketika summit puncak besok tubuh kami fresh kembali.

Keesokan harinya, kami bangun pukul 05.30 WIB melakukan ibadah solat subuh dilanjukan sarapan dengan bekal yang ada. Setelah selesai, kami prepare and packing untuk menuju puncak. Dimulai pukul 06.00 WIB kami mengawali kembali perjalanan yang tertunda karena hujan kemarin sore.

_MG_9365
Menuju Puncak Penanggungan

Langkah demi langkah kami tempuh dengan track agak miring. Sabana kami lewati dan ketika mendekati puncak, kelihatan banyak pendaki yang telah sampai di puncak. Padahal selama perjalanan kemarin, kami tidak menemui satu rombongan pun yang naik via Jolotundo. Jam menunjukkan angka 07.10, akhirnya sampai diatas puncak gunung Penanggungan. Meski suasana pagi berkabut, tetapi banyak pendaki yang sedang berfoto ria. Kami pun melakukan visi pendakian ini, yakni pengibaran bendera merah putih dan lambang Garba Wira Bhuana dengan menggunakan almamater UNS.

02-21 TIM 8 Puncak gn Penanggungan
Puncak Gunung Penanggungan dengan Almamater UNS, 1653 Mdpl

_MG_9369

_MG_9376

Di puncak terdapat lembah, barangkali semacam kawah yang sudah tidak aktif lagi. Luasnya sekitar 4 ha yang bisa digunakan untuk tempat camp. Selain itu, disana juga terdapat bangunan seperti candi yang mana kondisinya cukup baik. Tidak lama kemudian, cuaca berubah, dari berkabut menjadi gerimis. Pukul 09.15 WIB, kami turun via Jolotundo dan sampai di pos perijinan sekitar pukul 12.35 WIB.

Dari mendaki gunung Penanggungan ini, yang dapat kami ambil pesan dari perjalanan ini seperi kutipan kata-kata dari Sir Martin Convay yaitu “Each fresh peak ascended teaches something” yang berarti setiap puncak yang baru didaki selalu mengajarkan sesuatu. Memang benar apa yang dikatakan Bapak Martin bahwa puncak gunung yang baru pertama kali didaki itu sesuatu yang masih awan pengetahuannya baik dari kondisi medan gunungnya maupun cuaca alam di sekitarnya. Gunung Penanggungan yang ketinggiannya di bawah 2000 mdpl, namun tak mudah juga untuk dilalui. Butuh persiapan bekal dan peralatan yang cukup agar perjalanan kesana terasa aman dan nyaman. Karena jauh dari ekspetasi ditambah persiapan peralatan yang kurang matang pun, berimbas pada perjalanan yang cukup memakan waktu di jalan.